Pisah Sambut Formator STISG



Ada perjumpaan, ada perpisahan, demikian kata pepatah tua. Segala perjumpaan pada suatu saat akan berujung pada perpisahan. Makna perpisahan tersebut mengandung filosofi mendalam tentang eksistensi keberadaan dalam ruang dan waktu. Lebih dari itu, makna refleksi perpisahan mengupas lebih dalam sejarah panjang seseorang yang bergulat dalam bidang kehidupannya, entah itu tugas-tugas, pekerjaan, karier atau bahkan pencapaian hidup. Tetapi dalam konteks pelayanan di Seminari, perpisahan yang dimaksud adalah keputusan pribadi yang disetujui atasan untuk mengalami perpindahan atau murni keputusan dari atasan untuk memindahkan individu ke tempat penugasan yang lain. Romo Blasius Soedibja, SJ dan Romo Aang Winarko selanjutnya akan berpindah tugas ke tempat perutusan yang baru. Sementara itu, seorang Imam Jesuit yang telah lama berkecimpung di dunia formatio, Romo Joanes De Britto Mardikartono Sugita SJ (Romo Mardi) mendapatkan tugas perutusan sebagai formator di Seminari Tinggi Interdiosesan San Giovanni XXIII Malang. 

Acara pisah sambut formator Seminari Tinggi Interdiosesan San Giovanni XXIII Malang diawali dengan misa sore yang dipimpin oleh RP Tri Wardoyo, CM. Ada tiga hal yang disampaikan oleh Romo Tri terkait bacaan yang disampaikan pada hari Minggu, 11 Februari 2024 ini. Pertama, Apabila hendak mengikuti Yesus, seseorang harus memiliki hati yang penuh belas kasih, sebagaimana yang Yesus lakukan kepada si orang kusta,”Hati-Nya tergerak oleh belas kasihan”. Lebih-lebih calon imam, harus memiliki hati yang berbelas kasih. Ia tidak dapat menutup mata dari orang-orang yang kelaparan, yang tidak dapat makan tiga kali sehari sebagaimana orang kebanyakan. Oleh karena itu, di Seminari para Frater dilatih untuk peduli kepada sesama Frater, para formator, staff dan karyawan. Praksis nyatanya minimal mengenal  nama-nama para karyawan sebagai wujud kepedulian. Calon imam dididik untuk menjadi orang yang peduli, orang yang memiliki hati yang berbelas kasih. “Tidak bisa kita merekomendasikan begitu saja; Frater ini, kok, egois! Tidak peduli dengan sesama frater!” ungkap Romo Tri. Romo Bas selama kurang lebih 5,5 tahun, dan Romo Aang lebih dari 8 tahun menemani para Frater, juga tegerak untuk menolong orang lain. Kedua,  Yesus mengajarkan tentang ketaatan. Yesus memerintahkan orang kusta itu untuk menunjukkan diri kepada Imam bahwa si kusta itu telah sembuh. Romo Bas dan Romo Aang dikenal sebagai pribadi yang taat. Orang kebanyakan berpikir,”Ini kan, panggilan saya, betul,” ungkapnya,”Tapi soal perutusan, itu adalah urusan pimpinan”. Apabila ini adalah benar-benar panggilan, maka pribadi tersebut takkan mudah goyah. Soal perutusan tersebut, adalah perkara para pimpinan. “Tidak mudah kalau ada imam yang tidak taat, kasihan pimpinan, uskup, provincial, siapa lagi yang harus saya utus kalau seperti ini?” Ketiga, siap hidup dalam kesendirian. Romo Tri mengungkapkan bahwa Yesus setelah menyembuhkan orang kusta, menyuruh orang tersebut supaya diam. Tapi justru malah orang tersebut memberitakan sukacita yang dialaminya itu ke mana-mana. Yesus pada akhirnya menyingkir. Dalam bacaan pertama, seharusnya orang kusta yang hidup di luar tembok, “Ini malah terbalik!” tegasnya. Malahan Yesus yang harus tinggal di luar tembok. Maka dari itu, sebagai pengikut Yesus harus berani hidup dalam kesendirian. Ketiga wejangan dari Romo Tri tersebut sangat membekas di hati para Frater, apalagi berkaitan dengan formatio. 

Setelah misa dan mendapatkan santapan rohani, kegiatan selanjutnya di arahkan ke refter. Dalam ramah tamah, ada penampilan dari para Frater sehingga acara sukacita ini menjadi lebih hidup. Dalam ramah tamah ini, hadir pula Mgr. Hendrikus Pidyarto, O.Carm. Uskup Malang. Sebelum santap malam, ada beberapa kata sambutan yang sangat menarik untuk dipetik hikmahnya. Ketua Komunitas, Frater Virgi mengungkapkan dalam kata sambutannya, bahwa ada satu hal unik dan istimewa yang selalu diingatnya hingga saat ini tentang Romo Bas, yaitu pernyataan,”Tuhan mau berbicara apa?”. Kalimat ini selalu menemani, selalu membimbing perjalanan hidup panggilannya. Lalu, mengenai Romo Aang, ia berpendapat bahwa Romo Aang merupakan sosok Formator yang tegas dan disiplin, tetapi memiliki jiwa muda. Romo Aang juga menemani para Frater S2 untuk mengajarkan model imam seperti apa yang hendak dihidupi? Tentu saja, harapan besar kepada keduanya adalah agar Tuhan dapat menyediakan hadiah yang indah dalam hidup mereka. Lalu ia juga tidak lupa mengucapkan selamat datang kepada Romo Mardi yang akan menjadi bagian dalam formatio sebagai formator spiritualitas seminari dalam beberapa waktu ke depan.

Romo Mardi dalam kata sambutannya mengungkapkan kilas balik ketika berjumpa Romo Denny Firmanto yang saat itu menjabat sebagai rektor Seminari. Tiba-tiba Romo Denny merangkul saya,”Suatu hari Romo akan menjadi formator di sini,” ungkap Romo Mardi disambut gelak tawa para Frater. “Dan ternyata terjadi,” kata Romo Mardi. Ia bersyukur ditempatkan di Malang yang notabene lebih sejuk daripada kota Yogyakarta. Tadi pagi, ia bercerita bahwa ia sedang bersepeda, dan kemudian kesasar. Lalu ia berjumpa dengan seorang bapak-bapak dan berkata,”Saya tersesat, apakah bapak tahu jalan ke Seminari?” Usut punya usut, setelah bercerita, barulah beliau tahu bahwa bapak tersebut masih saudara sepupunya. “Saya meyakini bahwa Tuhan ada di mana-mana,” tuturnya.

Romo Aang pula dalam sambutan pertamanya mengatakan,”Terus terang, saya tidak ada firasat akan meninggalkan komunitas ini”. Menurutnya, menjadi formator adalah suatu hal yang menggembirakan karena harus mempersiapkan imam-imam Keuskupan di Indonesia. Baginya, ia mengalami peristiwa pastoral yang luar biasa,”Saya pernah di Seminari, lalu juga ke Paroki.” Di situ, ada pula Direktur TOR Giovanni XXIII Malang, Romo Louis. “Romo Louis juga di Seminari, tapi belum pernah jadi Pastor Kepala, bukan?” mendengar ini, para Frater tertawa terbahak-bahak sehingga suasana menjadi riuh dan kocak.

Senada dengan Romo Aang, Romo Bas dalam sambutan mengatakan,”Jika Romo Aang mengatakan bahwa hidup dan tinggal di Seminari adalah hal yang disenangi. Kalau saya selalu mengagetkan”. Bagaimana tidak, ketika akan dipindahkan ke Seminari, beliau nyaris tanpa persiapan. Beliau juga mengungkapkan bahwa para Frater yang ada di Seminari Tinggi ini, terdiri dari berbagai Keuskupan. Maka dari itu, beliau menerima dengan gembira pelayanan ini sebab ada keyakinannya bahwa panggilan berasal dari Tuhan. “Saya menjadi Gembala yang menuntun para Frater untuk berjumpa dengan Tuhan,” ungkapnya. Ia mengimani bahwa Tuhanlah yang akan menuntun para Frater ke arah yang dijalaninya. Beliau sempat bertanya kepada Provinsialnya,”Romo Provinsial, apakah Romo melupakan saya di sini?” Romo Bas bukannya tidak mau melayani di Seminari Tinggi, tetapi oleh karena langkah kaki sudah terasa begitu berat. Maka dari itu, Desember lalu Romo Bas mendapatkan penugasan baru yakni “Pemulihan Kesehatan”. Lalu beliau akan tinggal dengan Romo Provinsialat untuk menyembuhkan sakitnya. 

Romo Tri Wardoyo, CM, Rektor Seminari Tinggi Interdiosan San Giovanni XXIII juga mengucapkan terima kasih kepada Romo Bas dan Romo Aang atas bimbingan dan didikannya, pelayanan yang sungguh mewarnai Seminari. Harapannya adalah agar apa yang diteladankan di Seminari sungguh-sungguh menetap dalam hati para formandi. Ucapan selamat juga diberikan kepada Romo Mardi yang memiliki pengalaman banyak dalam formatio sehingga ilmu-ilmu yang diperoleh dapat ditularkan kepada para Formator.

Romo Hendrikus Pidyarto, O.Carm yang hadir mewakili sepuluh Keuskupan yang mengutus Fraternya untuk belajar di Seminari Tinggi Interdiosesan San Giovanni XXIII. Dedikasi selama lebih dari 8 tahun sebagai pembimbing Rohani, Romo Bas memiliki tugas yang berat tetapi penting dalam mendidik calon imam. Beliau mengungkapkan bahwa Romo Bas memiliki pengalaman rohani yang mendalam. Selanjutnya, Romo Aang yang telah mengabdi lebih dari 6 tahun dengan usaha yang diberikan dan penuh kedisiplinan. Orang memberikan stereotip,”Kadang ini menjadi hukuman seorang imam untuk Pendidikan atau ditempatkan di Seminar”. Lalu beliau menjawab dengan tegas,”Saya tidak setuju!”. Kadang beliau harus mengemis ke mana-mana untuk mendapatkan seorang Formator”. Meskipun demikian, beliau bersyukur pada akhirnya mendapatkan tenaga untuk membantu pembinaan para Frater.

Selama mengikuti kegiatan ini, penulis merasa terharu sekaligus bangga bisa menjadi bagian dari formatio. Apalagi bisa berjalan bersama para formator yang luar biasa seperti Romo Bas dan Romo Aang. Pengalaman penulis bersama Romo Bas, merupakan pengalaman yang sangat berkesan. Sebab sejak tingkat satu hingga menjelang kepergian beliau ke tempat perutusan yang baru, saya rajin mengaku dosa kepada Romo Bas. Romo Bas adalah Bapa pengakuan penulis dan hanya dengan beliau penulis dapat terbuka dan menimba banyak nasehat yang berharga terutama dalam menghayati spiritualitas sebagai calon imam diosesan. Romo Aang adalah sosok yang hangat dan ramah. Beliau menjalankan tugasnya dengan sangat baik dan kedisiplinan penuh sebagai formator. Penulis juga memiliki pengalaman menyenangkan saat bergabung sebagai anggota Goweser Giovanni bersama Romo Aang dan teman-teman. Beliau adalah sosok yang solid dan supportif. Beliau tidak meninggalkan siapapun yang tertinggal saat bersepeda bersama. Dua sosok yang penulis ceritakan ini telah berkontribusi besar bagi penulis dalam formatio, dan penulis yakin para Frater lainnya juga merasakan hal yang sama. Meskipun beliau-beliau ini telah berada di tempat berbeda, teladan mereka akan selalu kami hidupi sebagai salah satu cara untuk menikmati panggilan sebagai rahmat dan sukacita dari-Nya.


Share:

0 Komentar:

Posting Komentar

Rektor Seminari Tinggi


R.P. GREGORIUS TRI WARDOYO, C.M.
Rektor Seminari Tinggi Interdiosesan San Giovanni XXIII Malang

Jangan Lupa Ikuti Kami

Logo

Postingan Populer

Arsip

Channel Kami